BERSEPEDA MOTOR DENPASAR-BREBES DEMI MENDAPATKAN DO’A RESTU ORANG TUA
BERSEPEDA
MOTOR DENPASAR-BREBES DEMI
MENDAPATKAN
DO’A RESTU ORANG TUA
“Kasih ibu sepanjang jalan, kasih
anak sepanjang galah”.
Peribahasa yang masih aku pegang hingga saat
ini. Berapa pun balasan anak kepada orang tua tidak akan mampu menandingi
pengorbanan orang tua yang telah membesarkannya hingga dewasa. Peribahasa
itu mengingatkanku, agar aku selalu berbakti kepada orang tua semampuku meski nyawa taruhannya. Sudah lima tahun, aku tidak pulang ke kampung
halamanku di kota Brebes, Jawa Tengah. Meskipun Hari Raya Idul Fitri yang
notabene merupakan hari raya yang ditunggu umat Islam untuk ajang silaturahmi
sekeluarga. Saat-saat indah tersebut belum dapat aku lakukan karena kondisi yang
tidak memungkinkan. Sekarang ini aku mengadu nasib di Bali. Aku merasa bahwa merantau
ke Bali bukanlah pilihan yang dirancang sebelumnya. Entah harus mengatakan dari
mana, tetapi yang jelas ke Bali adalah pilihan yang datang tiba-tiba. Hanya
dengan tekad yang bulat, karena efek “kejatuhan” dari usaha atau bisnis di Jawa. Akhirnya, Bali menjadi pilihan terakhir dan menjadi tempat
merantau yang tidak terduga. Aku membawa anak dan istriku untuk menggapai harapan baru. Aku sekeluarga, bahkan anakku
harus beradaptasi secara total dengan kondisi pendidikan dan bahasa
pergaulannya di sekolah.
Aku merasa kaget, karena kondisi pendidikan
di Bali berbeda dengan di Jawa. Masa liburan sekolah di Bali yang selalu
berbeda dengan masa liburan sekolah di Jawa. Hal ini membuatku tidak leluasa memanfaatkan masa liburan sekolah anakku untuk menjenguk keluarga di kampung halaman. Perlu
diketahui, bahwa masa liburan sekolah di Bali adalah libur Hari Raya Galungan
dan Kuningan dan Ujian Akhir Sekolah (UAS) yang tidak bersamaan dengan liburan
sekolah di Jawa. Apalagi, saat liburan Hari Raya Idul Fitri, bagi siswa yang
beragama Islam bukanlah waktu bebas seperti layaknya siswa yang beragama Islam
di Jawa. Di Bali justru merupakan waktu yang aktif mendapatkan mata pelajaran.
Liburan sekolah hanya jatuh pada tanggal kalender yang berwarna merah (2 hari
saja). Serba susah, tetapi setiap daerah punya hak otonomi khusus. Apalagi di
Bali secara mayoritas penduduknya bergama Hindu harus menerapkan liburan
sekolah sesuai dengan agamanya. Kita sebagai perantau harus menyesuaikannya. Ibarat
kata “di mana bumi dipijak di situlah langit dijunjung”. Sebagai pendatang yang
beragama minoritas (Islam) menerima dengan “legowo” semua aturan yang berlaku
di Bali apapun konsekuensinya.
Saat Hari Raya Idul Fitri,
memaksakan diri pulang kampung halaman sangat beresiko. Anak menjadi tertinggal
mata pelajaran. Dan yang terpenting adalah cost
(biaya) perjalanan yang tinggi. Biaya perjalanan
Denpasar - Brebes lewat jalur darat mengalami lonjakan luar biasa saat Hari Raya
Idul Fitri. Memang lucu sekali, saat
orang berlomba-lomba ingin pulang kampung halaman untuk bertemu sanak saudara
dan meminta ampunan dari orang tua. Aku justru berhitung masalah keuangan. Rasanya malu sekali.
Mungkin orang lain tidak sekerdil pikirannya seperti aku. Mungkin mereka akan
lakukan apapun yang penting sampai ke tujuan (kampung halaman). Tetapi, aku bukanlah tipe yang demikian. Aku
berpikir, bahwa aku tidak mau merepotkan orang tua sekembalinya pulang ke Bali. Aku merasa, keadaan tersebut
berbeda bagi saat aku berjaya dalam membangun bisnis 5 tahun yang lalu. Aku
harus berhemat dan bijak dalam menggunakan keuangan. Saat-saat Hari Raya Idul
Fitri, biaya perjalanan Denpasar-Brebes yang jaraknya hampir 1500 km mencapai Rp. 600 ribu/orang. Jika 3 orang (termasuk anakku) akan mengeluarkan
biaya Rp. 3,6 juta PP. Jika ditambah pengeluaran tak terduga bisa mencapai Rp. 5 juta. Nilai yang besar
bagiku saat ini. Maafkan aku, jika aku berhitung terlalu mendalam demi bertemu
orang tua.
Memang, mengharapkan ucapan maaf dan
do’a restu dari orang tua merupakan
harapanku dalam mengarungi hidup. Tetapi, dengan sangat terpaksa harapan
tersebut aku tahan sementara. Aku hanya mengirim uang ke orang tua sebagai
pengganti kedatanganku di hari yang indah (Hari Raya Idul Fitri). Dan berharap
bisa menjadi obat untuk menghilangkan rasa kangen terhadap orang tua. Serta
bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk keperluan pengobatan orang tua. Harapan yang lain adalah semoga dosa-dosaku
bisa dima’aafkan kedua orang tua. Di saat menelepon orang tua di Hari Raya Idul
Fitri, hal yang paling memalukan sebagai laki-laki adalah meluapkan air mata dan rasa cengeng. Meskipun
aku tahan agar jangan sampai terjadi. Aku memohon dimaafkan segala dosa-dosaku
dan belum bisa datang menjenguknya. Aku selalu teringat kejadian saat Bapak mengalami
penyakit dengan memuntahkan darah merah
bercampur hitam yang ditampung ke dalam ember yang telah terisi pasir. Aku juga
teringat sakit tangan Bapak seperti kanker yang telah mengeluarkan banyak biaya
pengobatan. Bahkan, penyakit sesak nafas atau asma masih menjangkitinya hingga
kini. Mungkin akibat masa mudanya yang gemar merokok, akhirnya kesehatan
paru-parunya terganggu. Aku terenyuh akan ketegaran Bapakku menghadapi berbagai
penyakit yang dideritanya. Di luar itu,yang paling mengesankan adalah kecekatan
ibuku. Ibuku melakukan pekerjaan apa saja sebagai pengganti Bapakku untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Tanpa merasa lelah dan mengeluh. Luar biasa, senyumnya masih mengembang. Aku
kangen momen-momen tersebut. Aku ingin balas senyumannya dengan senyumanku di hadapan
kedua orang tuaku. Aku ingin memberikan motivasi gairah hidup, agar mampu
bertahan sampai aku berhasil kelak.
Sungguh, harapan yang kuidam-idamkan dalam hidup.
Keinginan bertemu orang tua dan saudara-saudara di kampung halaman Kota
Brebes kupendam hingga 5 tahun lamanya.
Ada kekhawatiran di benakku, orang tua meninggalkanku saat aku tidak
berada di sampingnya. Meskipun, pikiran tersebut aku buang jauh-jauh dan
merupakan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena hampir keluarga dekatku yang
sudah meninggal adalah saat aku tidak ada di rumah (merantau), baik bibi,
keponakan, nenek dan kakekku. Akhirnya,
saat untuk menjenguk kedua orang tuaku pun terjadi. Seminggu yang lalu, aku mendapat kabar bahwa
sakit Bapakku kambuh lagi. Suara telepon ibu dan agak menangis menggugah keinginanku untuk
segera pulang ke kampung halaman. Aku
harus lakukan apapun demi orang tuaku. Keinginan
untuk memeluk kedua orang tuaku sudah tidak terbantahkan lagi. Aku harus pulang
… dan pulang. Takut terjadi yang tidak aku inginkan pada kedua orang tua,
khususnya Bapakku.
Untuk menghemat biaya, dengan tekad bulat bersepeda motor yang akan
menempuh perjalanan kurang lebih 3000 km PP. Masalah perasaan capai yang akan
terjadi tidak pernah aku pikirkan. Tujuannya cuma satu, memeluk dan memberikan
senyuman yang terbaik buat kedua orang
tuaku. Aku tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 2 hari 1 malam
menempuh perjalanan panjang dari Denpasar, Bali menuju Brebes, Jawa Tengah. Jas
hujan yang aku pakai tidak mampu melindungi dinginnya perjalanan yang selalu
diliputi hujan. Sepanjang perjalanan diguyur hujan. Bis malam yang berjalan kasar
dan seenaknya hampir menabrakku sudah menjadi hal yang biasa. Terperosok ke
bahu jalan dan lobang jalan yang membuatku jatuh membuat nyali semakin kuat.
Yang membuatku kuat adalah bertemu Bapak dan ibuku. Untuk menghilangkan rasa ngantuk, minum Kratingdaeng
menjadi pilihan. Dan membuat mataku jadi melek kembali.
Sesampainya di rumah orang tuaku, hari masih gelap gulita. Aku lihat
Bapakku tertidur tak berdaya. Aku bangunkan dan melihat wajahnya yang mulai
berkeriput. Senyumnya masih merekah meskipun penyakit masih ada pada dirinya. Aku
peluk erat-erat Bapak dan berganti ibuku. “Maafkan aku, jika aku baru pulang
sekarang”, kataku padanya. Kini giliran aku seperti memeluk anakku. Erat sekali. Aku ciumi mereka berdua.
“Maafkan dosa-dosaku selama ini” kataku lagi. Aku berikan semangat dan garirah
hidup padanya. Dan tidak usah mengkhawatirkan keadaanku. Mereka mengangguk dan
memakluminya. Aku memohon do’a restunya dalam mengarungi hidup. Tugasku bertemu
orang tua sudah tercapai. Perjalanan panjang yang melelahkan terbayarkan dengan
sujud syukur di hadapan orang tuaku. Itulah modal dalam menghadapi cobaan
hidup. Doa ibu sepanjang jalan, doa ayah sepanjang hayat. Aku berkeluh kesah
kepada Tuhan dalam do’aku, “Terima kasih Tuhan, Engkau masih memberikan
kepercayaan kepadaku untuk menemani hari-hari yang indah bersama orang tuaku.
Berikan kekuatan untuk menempuh perjalanan panjang dalam hidupku”. Masih setengah perjalanan menuju Denpasar,
Bali. Revolusi besar-besaran menjelang
tahun baru 2014. Nyali besar buat
mendapatkan do’a restu orang tua. Terngiang akan peribahasa yang tidak pernah
padam, “Sejauh-jauh tupai melompat, akhirnya jatuh juga”. Kemana pun jauh kita
melangkah, kita akan kembali bertemu dengan orang tua yang kita sayangi.
Post a Comment for "BERSEPEDA MOTOR DENPASAR-BREBES DEMI MENDAPATKAN DO’A RESTU ORANG TUA"